Langsung ke konten utama

Penciptaan Dan Kiamat Bumi Serta Manusia Menurut Agama Buddha

Kejadian Dan Kehancuran Bumi Serta Manusia Menurut Buddha Sasana
oleh: Cornelis Wowor, M.A.
ALAM SEMESTA
        Menurut pandangan Buddhis, alam semesta ini luas sekali. Dalam alam semesta terdapat banyak tata surya yang jumlahnya tidak dapat dihitung. Hal ini diterangkan oleh Sang Buddha sebagai jawaban atas pertanyaan Bhikkhu Ananda dalam Anguttara Nikaya sebagai berikut:
Ananda, apakah kau pernah mendengar tentang seribu Culanikaloka dhatu (tata surya kecil)? ...Ananda, sejauh matahari dan bulan berotasi pada garis orbitnya, dan sejauh pancaran sinar matahari dan bulan di angkasa, sejauh itulah luas seribu tata surya. Di dalam seribu tata surya terdapat seribu matahari, seribu bulan, seribu Sineru, seribu Jambudipa, seribu Aparayojana, seribu Uttarakuru, seribu Pubbavideha, empat ribu maha samudra, empat ribu maha raja (manusia), seribu Catummaharajika, seribu Tavatimsa, seribu Yama, seribu Tusita, seribu Nimmanarati, seribu Parinimmitavassavatti, seribu alam Brahma. Inilah, Ananda, yang dinamakan seribu tata surya kecil (sahassiculanika lokadhatu).Ananda, seribu kali Sahassi Culanika Lokadhatu dinamakan "Dvisahassi Majjhimanika Lokadhatu". Ananda, seribu kali Dvisahassi Majjhimanika Lokadhatu dinamakan "Tisahassi Mahasahassi Lokadhatu".
Ananda, bilamana Sang Tathagata mau, maka Ia dapat memperdengarkan suaraNya sampai terdengar di Tisahassi Mahasahassi Lokadhatu, ataupun melebihi itu lagi.
        Sesuai dengan kutipan di atas dalam sebuah Dvisahassi Majjhimanika Lokadhatu terdapat 1.000 x 1.000 = 1.000.000 tata surya. Sedangkan dalam Tisahassi Mahasahassi Lokadhatu terdapat 1.000.000 x 1.000 = 1.000.000.000 tata surya. Alam semesta bukan hanya terbatas pada satu milyar tata surya saja, tetapi masih melampauinya lagi.

KEJADIAN BUMI DAN MANUSIA
        Terjadinya bumi dan manusia merupakan konsep yang unik pula dalam agama Buddha, khususnya tentang manusia pertama muncul di bumi kita ini bukanlah hanya seorang atau dua orang, tetapi banyak. Kejadian bumi dan manusia pertama di bumi ini diuraikan oleh Sang Buddha dalam Digha Nikaya: Mahaparinibbana Sutta, Agganna Sutta, Patika Sutta, dan Brahmajala Sutta.
        Dalam Mahaparinibbana Sutta, Sang Buddha menerangkan tentang asal usul bumi kita ini secara umum, yaitu ketika Beliau menerangkan kepada Ananda tentang terjadinya gempa bumi, sebagai berikut:
        "Bumi yang luas ini terbentuk dari zat cair, zat cair terbentuk dari udara, dan udara ada di angkasa," (Mahaparinibbana Sutta III, 12)
        Selanjutnya keterangan rinci tentang kejadian bumi dan manusia dijelaskan dalam Agganna Sutta, sebagai berikut;
Vasettha, terdapat suatu saat, cepat atau lambat, setelah suatu masa yang lama sekali, ketika dunia ini hancur. Dan ketika hal ini terjadi, umumnya makhluk-makhluk terlahir kembali di Abhassara(alam cahaya) di sana mereka hidup dari ciptaan batin (mano maya), diliputi kegiuran, memiliki tubuh yang bercahaya, melayang-layang di angkasa, hidup dalam kemegahan. Mereka hidup demikian dalam masa yang lama sekali.Vasettha, terdapat juga suatu saat, cepat atau lambat, setelah selang suatu masa yang lama sekali, ketika dunia ini mulai terbentuk kembali. Dan ketika hal ini terjadi, makhluk-makhluk yang mati di Abhassara, biasanya terlahir kembali di sini sebagai manusia. Mereka hidup dari ciptaan batin, diliputi kegiuran, memiliki tubuh yang bercahaya, melayang-layang di angkasa, hidup dalam kemegahan. Mereka hidup secara demikian dalam masa yang lama sekali.
Pada waktu itu (bumi kita ini) semuanya terdiri dari air, gelap gulita. Tidak ada matahari atau bulan yang nampak, tidak ada bintang-bintang maupun konstelasi-konstelasi yang kelihatan; siang maupun malam belum ada... laki-laki maupun wanita belum ada. Makhluk-makhluk hanya dikenal sebagai makhluk-makhluk saja.
Vasettha, cepat atau lambat setelah suatu masa yang lama sekali bagi makhluk-makhluk tersebut, tanah dengan sarinya muncul keluar dari dalam air. Sama seperti bentuk-bentuk buih (busa) di permukaan nasi susu masak yang mendingin, demikianlah munculnya tanah itu. Tanah itu memiliki warna, bau dan rasa, sama seperti dadi susu atau mentega murni, demikianlah warna tanah itu sama seperti madu tawon murni, demikianlah manis tanah itu. Kemudian Vasettha, di antara makhluk-makhluk yang memiliki sifat serakah (lolajatiko) berkata: "Oh, apakah ini?" Dan mencicipi sari tanah itu dengan jarinya. Dengan mencicipinya, maka ia diliputi oleh sari itu, dan nafsu keinginan masuk dalam dirinya. Makhluk-makhluk lainnya mengikuti contoh perbuatannya, mencicipi sari tanah itu dengan jari-jari... makhluk-makhluk itu mulai makan sari tanah, memecahkan gumpalan-gumpalan sari tanah tersebut dengan tangan mereka. Dan dengan melakukan hal ini, cahaya tubuh makhluk-makhluk itu lenyap. Dengan lenyapnya cahaya tubuh mereka, maka matahari, bulan, bintang-bintang dan konstelasi-konstelasi nampak... siang dan malam... terjadi. Demikianlah, Vasettha, sejauh itu bumi terbentuk kembali.
Vasettha, selanjutnya makhluk-makhluk itu menikmati sari tanah, memakannya, hidup dengannya, dan berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali. Berdasarkan atas takaran yang mereka makan itu, maka tubuh mereka menjadi padat, dan terwujudlah berbagai macam bentuk tubuh. Sebagian makhluk memiliki tubuh yang indah dan sebagian makhluk memiliki bentuk tubuh yang buruk. Dan karena keadaan ini, mereka yang memiliki bentuk tubuh yang indah memandang rendah mereka yang memiliki bentuk tubuh yang buruk... maka sari tanah itupun lenyap...
Ketika sari tanah lenyap... muncullah tumbuhan dari tanah (bhumi pappatiko). Cara tumbuhnya seperti cendawan... Mereka menikmati, mendapatkan makanan, hidup dengan tumbuhan yang muncul dari tanah tersebut, dan hal ini berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali... (seperti di atas). Sementara mereka bangga dengan keindahan diri mereka, mereka menjadi sombong dan congkak, maka tumbuhan yang muncul dari tanah itupun lenyap. Selanjutnya tumbuhan menjalar (badalata) muncul... warnanya seperti dadi susu atau mentega murni, manisnya seperti madu tawon murni...
Mereka menikmati, mendapatkan makanan dan hidup dengan tumbuhan menjalar itu... maka tubuh mereka menjadi lebih padat; dan perbedaan bentuk tubuh mereka nampak lebih jelas; sebagian nampak indah dan sebagian nampak buruk, dan karena keadaan ini, maka mereka yang memiliki bentuk tubuh indah memandang rendah mereka yang memiliki bentuk tubuh buruk... sementara mereka bangga dengan keindahan tubuh mereka sehingga menjadi sombong dan congkak, maka tumbuhan menjalar itupun menjadi lenyap.
Kemudian, Vasettha, ketika tumbuhan menjalar lenyap; ...muncullah tumbuhan padi (sali) yang masak di alam terbuka, tanpa dedak dan sekam, harum, dengan bulir-bulir yang bersih. Pada sore hari mereka mengumpulkan dan membawanya untuk makan malam, pada keesokan paginya padi itu telah tumbuh dan masak kembali. Bila pada pagi hari mereka mengumpulkan dan membawanya untuk makan siang, maka pada sore hari padi tersebut telah tumbuh dan masak kembali, demikian terus menerus padi itu muncul.
Vasettha, selanjutnya makhluk-makhluk itu menikmati padi (masak) dari alam terbuka, mendapatkan makanan dan hidup dengan tumbuhan padi tersebut, dan hal ini berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali. Berdasarkan atas takaran yang mereka nikmati dan makan itu, maka tubuh mereka tumbuh lebih padat, dan perbedaan bentuk mereka nampak lebih jelas. Bagi yang wanita nampak jelas kewanitaannya (itthilinga). Kemudian wanita sangat memperhatikan keadaan laki-laki, dan laki-laki pun sangat memperhatikan keadaan wanita. Karena mereka saling memperhatikan diri satu sama lain terlalu banyak, maka timbullah nafsu indera yang membakar tubuh mereka. Dan sebagai akibat adanya nafsu indera tersebut, mereka melakukan hubungan kelamin.
Vasettha, ketika makhluk-makhluk lain melihat mereka melakukan hubungan kelamin...
        Dari uraian di atas, jelas dikatakan bahwa matahari dan bintang-bintang telah ada lebih dahulu. Tata surya kita, termasuk bumi kita, hanya merupakan salah satu bagian atau titik kecil di antara milyaran titik (tata surya) di alam semesta ini. Dengan demikian, ada banyak bumi di alam semesta dan di bumi-bumi itu ada manusia. Jadi manusia bukan hanya di bumi kita saja.

KIAMAT
        Pada suatu ketika bumi kita ini akan hancur lebur dan tidak ada. Tapi hancur leburnya bumi kita ini atau kiamat bukanlah merupakan akhir dari kehidupan kita. Sebab seperti apa yang telah diuraikan di atas, bahwa di alam semesta ini tetap berlangsung pula evolusi terjadinya bumi. Lagi pula, bumi kehidupan manusia bukan hanya bumi kita ini saja tetapi ada banyak bumi lain yang terdapat tata surya yang tersebar di alam semesta ini.
        Kiamat atau hancur leburnya bumi kita ini menurut Anguttara Nikaya, Sattakanipata diakibatkan oleh terjadinya musim kemarau yang lama sekali. Selanjutnya dengan berlangsungnya musim kemarau yag panjang ini muncullah matahari yang kedua, lalu dengan berselangnya suatu masa yang lama matahari ketiga muncul, matahari keempat, matahari kelima, matahari keenam dan akhirnya muncul matahari ketujuh. Pada waktu matahari ketujuh muncul, bumi kita ini terbakar hingga menjadi debu dan lenyap bertebaran di alam semesta.
        Pemunculan matahari kedua, ketiga dan lain-lain bukan berarti matahari-matahari itu tiba-tiba terjadi dan muncul di angkasa, tetapi matahari-matahari tersebut telah ada di alam semesta kita ini, dalam setiap tata surya terdapat matahari pula.
        Menurut ilmu pengetahuan bahwa setiap planet, tata surya, dan galaxi beredar menurut garis orbitnya masing-masing. Tetapi kita sadari pula, karena banyaknya tata surya di alam semesta kita ini, maka pada suatu masa garis edar tata surya kita akan bersilangan dengan garis orbit tata surya yang lain, sehingga setelah masa yang lama ada tata surya yang lain lagi yang bersilangan orbitnya dengan tata surya kita, sehingga tujuh matahari menyinari bumi ini. Baiklah kita ikuti uraian tentang kiamat yang dikhotbahkan oleh Sang Buddha kepada para bhikkhu, seperti yang tersebut dalam Mahavaggo Dutiyo, Sattakanipata, Anguttara Nikaya IV, sebagai berikut:
Bhikkhu, akan tiba suatu masa setelah bertahun-tahun, ratusan tahun, ribuan tahun, atau ratusan ribu tahun, tidak ada hujan. Ketika tidak ada hujan, maka semua bibit tanaman seperti bibit sayuran, pohon penghasil obat-obatan, pohon-pohon palem dan pohon-pohon besar di hutan menjadi layu, kering dan mati...Para Bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari kedua muncul. Ketika matahari kedua muncul, maka semua sungai kecil dan danau kecil surut, kering dan tiada...
Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari ketiga muncul. Ketika matahari yang ketiga muncul, maka semua sungai besar, yaitu sungai Gangga, Yumuna, Aciravati, Sarabhu dan Mahi surut, kering dan tiada...
Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari keempat muncul. Ketika matahari keempat muncul, maka semua danau besar tempat bermuaranya sungai-sungai besar, yaitu danau Anottatta, Sihapapata, Rathakara, Kannamunda, Kunala, Chaddhanta, dan Mandakini surut, kering dan tiada...
Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari kelima muncul. Ketika matahari kelima muncul, maka air maha samudera surut 100 yojana, lalu surut 200 yojana, 300 yojana, 400 yojana, 500 yojana, 600 yojana dan surut 700 yojana. Air maha samudera tersisa sedalam tujuh pohon palem, enam, lima, empat, tiga, dua pohon palem, dan hanya sedalam sebatang pohon palem. Selanjutnya, air maha samudera tersisa sedalam tujuh orang, enam, lima, empat, tiga, dua dan hanya sedalam tinggi satu orang saja, lalu dalam airnya setinggi pinggang, setinggi lutut, hingga airnya surut sampai sedalam tinggi mata kaki.
Para bhikkhu, bagaikan di musim rontok ketika terjadi hujan dengan tetes air hujan yang besar, mengakibatkan ada lumpur di bekas tapak-tapak kaki sapi, demikianlah di mana-mana air yang tersisa dari maha samudera hanya bagaikan lumpur yang ada di bekas tapak-tapak kaki sapi.
Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari keenam muncul. Ketika matahari keenam muncul, maka bumi ini dengan gunung Sineru sebagai raja gunung-gunung, mengeluarkan, memuntahkan dan menyemburkan asap, begitulah yang terjadi dengan bumi ini.
Demikianlah, para bhikkhu, semua bentuk (sankhara) apapun adalah tidak kekal, tidak abadi atau tidak tetap. Janganlah kamu merasa puas dengan semua bentuk itu, itu menjijikan, bebaskanlah diri kamu dari semua hal.
Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari ketujuh muncul. Ketika matahari ketujuh muncul, maka bumi ini dengan gunung Sineru sebagai raja gunung-gunung terbakar, menyala berkobar-kobar, dan menjadi seperti bola api yang berpijar. Cahaya nyala kebakaran sampai terlihat di alam Brahma, demikian pula dengan debu asap dari bumi dengan gunung Sineru tertiup angin sampai ke alam Brahma.
Bagian-bagian dari puncak gunung Sineru setinggi satu, dua, tiga, empat, lima ratus yojana terbakar dan menyala ditaklukkan oleh amukan nyala yang berkobar-kobar, hancur lebur. Disebabkan oleh nyala yang berkobar-kobar bumi dan gunung Sineru hangus total tanpa ada bara maupun debu yang tersisa. Bagaikan mentega atau minyak yang terbakar hangus tanpa sisa. Demikian pula bumi dengan gunung Sineru hangus terbakar hingga bara maupun debu tidak tersisa sama sekali.
        Kapan kehancuran bumi ini terjadi? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan mengacu pada Cakkavattisihanada Sutta, yang menyatakan bahwa usia manusia sekarang ini sedang menurun menjadi pendek. Pada suatu ketika usia manusia rata-rata 10 tahun. Usia sepuluh tahun ini akan berlangsung lama, kemudian usia manusia bertambah panjang. Hingga pada suatu saat panjang usia manusia mencapai rata-rata 80.000 (delapan puluh ribu) tahun, pada masa itu Buddha Matteyya muncul di dunia (di bumi kita) ini. Selanjutnya setelah masa yang lama sekali berlangsung, barulah kehancuran bumi kita ini terjadi. Dengan kata lain kehancuran bumi kita ini akan terjadi pada masa yang masih sangat lama sekali. Maka, pada sekarang ini, bagi kita umat Buddha, "kehancuran bumi ini" janganlah menjadi suatu obsesi yang menghantui hidup kita. Yang penting kita hadapi tantangan atau pekerjaan kita sekarang ini dengan penuh semangat dan waspada.***

Pengabdian Tiada Henti, 20 th Abdi Dhamma Sangha Theravada Indonesia, Penerbit Buddhis Bodhi, 1996

Artikel Populer