Langsung ke konten utama

Apakah kitab suci Buddhis?

Kitab suci umat Buddhis dinamakan Tipitaka. Tertulis dalam bahasa India kuno yang disebut bahasa Pali yang sangat mirip dengan bahasa yang digunakan oleh sang Buddha. Tipitaka merupakan buku yang sangat besar. Terjemahan dalam bahasa inggris hampir mencapai 40 jilid.
Tipitaka terdiri dari dua kata, ti artinya “tiga” dan pitaka artinya “keranjang”. Bagian pertama dari nama tersebut ditujukan pada fakta bahwa kitab Buddhis terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama, dinamakan Sutta Pitaka memuat semua khotbah Sang Buddha dan beberapa muridnya yang tercerahkan. Jenis materi dalam Sutta Pitaka sangat beragam hingga memungkinkannya untuk menyampaikan kebenaran yang diajarkan Buddha kepada berbagai jenis orang yang berbeda. Banyak ajaran Sang Buddha yang berbentuk khotbah, dan yang lain berbentuk dialog. Bagian lain seperti Dhammapada menghadirkan ajaran Sang Buddha melalui syair. Jataka, sebagai contoh lain, terdiri dari cerita menghibur yang seringkali tokoh utamanya adalah hewan. Bagian kedua dari Tipitaka adalah Vinaya Pitaka. Ini memuat aturan dan prosedur-prosedur untuk para bhikkhu dan bhikkhuni, administrasi dan prosedur monastik, dan sejarah awal monastik. Bagian terakhir dinamakan Abhidhamma Pitaka. Ini adalah sebuah usaha kompleks dan canggih untuk menganalisis dan mengklasifikasikan semua unsur yang membentuk individu. Meskipun Abhidhamma ada belakangan setelah dua bagian Tipitaka lain, ia tidak memuat apapun yang bertentangan dengan mereka.
Sekarang untuk kata “pitaka”. Di India kuno, pekerja konstruksi biasanya memindahkan material bangunan dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan keranjang. Mereka akan meletakkan keranjang di kepala mereka, berjalan dalam jarak beberapa jauh pada pekerja lain, dan memindahkannya, dan orang tersebut akan mengulangi prosesnya. Tulisan telah dikenal pada masa Sang Buddha, tetapi sebagai media, dianggap kurang bisa diandalkan dibandingkan dengan ingatan manusia. Sebuah buku akan membusuk di musim hujan yang lembab atau dimakan oleh rayap tapi ingatan manusia akan bertahan selama mereka masih hidup. Karena itu, para bhikkhu dan bhikkhuni menghafal semua ajaran Buddha dalam ingatannya dan saling meneruskannya seperti pekerja bangunan yang saling menyalurkan tanah dan batu bata dalam keranjang. Inilah mengapa ketiga bagian kitab suci Buddhis dinamakan keranjang. Setelah dilestarikan selama ratusan tahun, Tipitaka akhirnya dituliskan sekitar tahun 100 SM di Sri Lanka.
Pelestarian dari kitab merupakan usaha bersama dari komunitas bhikkhu dan bhikkhuni. Mereka akan bertemu bersama dalam jangka waktu teratur dan melafalkan sebagian atau keseluruhan Tipitaka. Ini membuatnya hampir tidak mungkin untuk ditambahkan atau diubah. Berpikirlah seperti ini. Jika sekelompok ratusan orang menghafal sebuah lagu di luar kepala yang dan ketika mereka semua menyanyikannya seseorang mengucapkan bait yang salah atau mencoba memasukkan bait yang baru, apa yang akan terjadi? Jumlah yang banyak dari mereka yang mengetahui lagu yang benar akan mencegah orang itu melakukan perubahan apapun. Juga penting untuk diingat bahwa di zaman itu, tidak ada televisi, koran atau iklan untuk mengalihkan perhatian dan mengacaukan pikiran yang, bersama dengan fakta bahwa bhikkhu dan bhikkhuni bermeditasi, berarti mereka memiliki ingatan yang luar biasa bagus. Bahkan di zaman sekarang, lama setelah buku digunakan, masih ada bhikkhu yang mampu melafalkan seluruh Tipitaka. Bhikkhu Mingun Sayadaw di Burma mampu menghafalnya dan ia ditulis dalam Guinnes Book of Records sebagai orang dengan ingatan terdahsyat di dunia.
Umat Buddhis tidak menganggap Tipitaka sebagai wahyu ilahi yang mutlak dari tuhan, dimana setiap katanya harus dipercayai. Tetapi, Tipitaka merupakan catatan pengajaran dari seorang yang luar biasa yang memberikan penjelasan, nasihat, bimbingan, dan dorongan dan yang harus dibaca dengan serius dan hormat. Tujuan kita agar mengerti apa yang diajarkan Tipitaka, bukan hanya mempercayainya dan apa yang Buddha katakan harus selalu dibandingkan dengan pengalaman kita. Anda mungkin berkata bahwa sikap seorang Buddhis pada kitab suci mirip dengan sikap ilmuwan pada makalah penelitian dalam jurnal ilmiah. Seorang ilmuwan mengadakan sebuah eksperimen dan kemudian mempublikasikan penemuan dan kesimpulannya dalam jurnal. Ilmuwan lain akan membaca makalahnya dan menghargainya tetapi mereka tidak akan menganggap itu sah dan otoritatif hingga mereka mengadakan eksperimen yang sama dan mendapat hasil yang sama.
Dhammapada adalah salah satu karya terkecil dalam bagian pertama Tipitaka. Namanya bisa diartikan “jalan kebenaran” atau “ayat kebenaran”. Dhammapada terdiri dari 423 ayat, beberapa ada yang penuh arti, mendalam, mengandung perumpamaan yang menarik, dan yang lainnya dengan keindahannya, semuanya dibabarkan oleh Sang Buddha. Karenanya, Dhammapada adalah karya paling populer dari literatur Buddha. Dhammapada telah diterjemahkan dalam banyak bahasa utama dan diakui sebagai mahakarya literatur agama di dunia.
Hingga akhir-akhir ini negara Buddhis sama seperti di abad pertengahan Eropa, buku adalah barang langka dan berharga. Karena itu, kitab suci selalu diperlakukan dengan penuh hormat dan kebiasaan yang baru anda sebutkan merupakan contohnya. Namun, sementara kebiasaan dan praktik-praktik tradisional adalah hal yang baik, kebanyakan orang akan setuju bahwa cara terbaik untuk menghormati kitab Buddhis adalah dengan mempraktikkan ajaran yang dikandungnya.
ketika kita membuka kitab Buddhis, kita mengharapkan untuk membaca kata-kata yang suci, menyenangkan, atau pujian yang akan mengangkat dan menginspirasi kita. Karena itu, seseorang yang membaca kitab Buddhis akan sedikit kecewa. Sementara beberapa khotbah Sang Buddha mengandung banyak pesona dan keindahan, kebanyakan lebih mirip tesis filosofis dengan defenisi istilah-istilah, argumen yang beralasan dengan baik, nasihat terperinci mengenai prilaku atau meditasi dan kebenaran yang dinyatakan dengan sangat tepat. Khotbah Sang Buddha lebih menarik bagi intelek daripada emosional. Ketika kita berhenti membandingkan kitab Buddhis dengan agama lain, kita akan melihat bahwa khotbah Sang Buddha memiliki keindahannya tersendiri – keindahan kejelasan, mendalam dan kebijaksanaan.

Artikel Populer