- Alam Manusia (manussabhûmi),
Yang menyebabkan suatu makhluk terlahir dialam manusia karena memegang teguh moralitas, yaitu melaksanakan PANCASILA :
- Tidak membunuh makhluk hidup apapun juga. Tidak menyiksa dan menimbulkan penderitaan makhluk-makhluk apapun juga.
- Tidak mencuri, tidak mengambil barang yang tidak diberikan.
- Tidak berbuat sex yang menyimpang ( asusila ), menyetubuhi yang bukan haknya.
- Tidak berbohong, memfitnah, omong kasar, memecah belah dan lain-lain.
- Tidak meminum minuman keras yang menyebabkan lemahnya kesadaran ( memabukkan ).
Alam manusia adalah suatu campuran dari rasa sakit dan kebahagiaan. Ini adalah alam saf pertama dari alam Sugati, tempat kita sekarang ini hidup dan menetap, untuk sementara, sebelum nanti kita mati. Di alam manusia ini, kita mengalami goncangan badai kekanan dan kekiri, yang dikenal dengan “delapan-kondisi-duniawi” ( Atthalokadhamma ), yaitu :
- Untung ( labha ) dan Rugi ( alabha )
- Terkenal ( yasa ) dan Tidak Dikenal ( ayasa )
- Dipuji ( pasamsa ) dan Dicela ( Ninda )
- Bahagia ( sukha ) dan Menderita ( Dukha )
Manussa’ terbentuk atas dua kosakata, yaitu ‘mano‘ yang berarti ‘pikiran, batin’ dan ‘ussa‘ yang berarti ‘tinggi, luhur, meningkat, berkembang’. Manussaatau manusia adalah suatu makhluk yang berkembang serta kukuh batinnya [mano ussanti etesanti=manussâ], yang tahu serta memahami sebab yang layak [kâranâkaranam manatijânâtîti=manusso], yang tahu serta memahami apa yang bermanfaat dan tak bermanfaat [atthânattam manati jânâtîti=manusso], yang tahu serta memahami apa yang merupakan kebajikan dan kejahatan [kusalâkusalam manati jânâtîti=manusso].
Manusia bertinggal di empat tempat, yaitu
- Uttarakurudîpa,
- Pubbavidehadîpa,
- Aparagoyânadîpa, dan
- Jambudîpa.
Umat manusia yang berada di Uttarakurudîpa berusia sampai seribu tahun, yang berada di Pubbavidehadîpa berusia sampai tujuh ratus tahun, yang berada di Aparagoyânadîpa berusia sampai lima ratus tahun, sedangkan yang berada di Jambudîpa berusia tidak menentu, tergantung kadar kebajikan serta kesilaan yang dimiliki. Pernah terjadi bahwa umat manusia tidak begitu mengindahkan kebajikan serta kesilaan sehingga usia rata-rata umat manusia menjadi sependek 10 tahun. Pada zaman Buddha Gotama, usia rata-rata umat manusia ialah 100 tahun. Diprakirakan bahwa setiap satu abad, usia manusia memendek selama satu tahun. Karena Buddha Gotama telah mangkat sejak dua puluh lima abad yang lampau, usia rata-rata umat manusia pada saat sekarang ini ialah 75 tahun ( dan ternyata teori itu benar bukan ? Karena, rata-rata umur manusia sekarang ini adalah tujuh-puluh-lima ( 75 ) tahun ).
Seorang Sammâsambuddha tidak akan muncul apabila usia rata-rata manusia lebih pendek dari 100 tahun karena kesempatan bagi kebanyakan orang untuk dapat memahami kebenaran Dhamma terlalu singkat, tetapi juga tidak akan muncul apabila lebih panjang dari 100,000 tahun karena kebanyakan orang akan merasa sulit untuk dapat menembus hakikat ketakkekalan atau kefanaan hidup. Beliau hanya terlahirkan di Jambudîpa, tidak pernah terlahirkan di tiga tempat lainnya apalagi di alam-alam kehidupan selain alam manusia.
Kitab Majjhima Nikâya bagian Mûlapannâsaka memberikan penjelasan secara terinci mengapa manusia mempunyai keadaan yang berbeda. Orang yang dalam kehidupan lampau suka membinasakan atau membunuh makhluk lain niscaya akan terlahirkan sebagai manusia dengan umur pendek; yang suka menganiaya atau menyiksa makhluk lain niscaya akan dihinggapi banyak penyakit; yang suka murkah atau marah niscaya akan berparas buruk; yang suka cemburu atau irihati nis-caya akan tak berwibawa; yang suka berdana atau murah hati niscaya akan memiliki kekayaan melimpah; yang suka bersikap angkuh atau sombong niscaya akan terlahirkan di keluarga yang rendah; yang tak gemar menimba ilmu pengetahuan atau memperdalam pengertian Dhamma niscaya akan terlahirkan dengan sedikit kebijaksanaan.
Demikian pula kebalikannya. Selaras dengan ilmu pengetahuan modern, dalam Aggañña Sutta disebutkan bahwa umat manusia di bumi ini adalah suatu hasil evolusi yang panjang. Manusia bukanlah suatu makhluk yang pada saat pertama kali muncul / lahir di dunia ini sudah berbentuk, berupa atau berwujud sebagaimana yang tertampak pada saat sekarang ini. Dalam wejangan tersebut juga dijelaskan bahwa bumi beserta isinya ini terbentuk dalam suatu proses yang amat panjang, bukan diciptakan secara gaib selama enam hari pada sekitar 6,000 tahun yang lampau sebagaimana yang ditafsirkan dari Alkitab.
Para Bodhisatta ( Calon Buddha ) lebih memilih alam manusia karena alam ini adalah tempat terbaik untuk mengabdi pada dunia dan memenuhi persyaratan ke-Buddhaan. Pada alam manusia ini seseorang benar-benar bisa mengenali sifat / hakekat sejati alam semesta dan alam kehidupan. Pada alam neraka, peta, asura, seorang makhluk hanya mengalami keadaan yang tidak menyenangkan, penderitaan, karena itu iapun tidak sempat mengenal / menembus hakekat, karena ia lebih memikirkan penderitaan demi penderitaan, dan oleh karenanya tidak sempat untuk mencapai alam Kebuddhaan / Nirvana. Pada alam surgawi, hanya ada kesenangan, tidak ada kesedihan / dukkha, sehingga mereka tidak mampu mengenali bahwa hakekat hidup ini adalah dukkha, dan pada alam ini pun para makhluk ( yakni para Dewa ) lebih suka menikmati kesenangan demi kesenangan daripada “nglakoni” untuk mencapai “Yang-Mutlak”. Oleh karenannyalah para Buddha selalu dilahirkan sebagai manusia.
Menurut ajaran Sang Buddha, alam surga di mana para dewa-dewi bertempat tinggal dalam kurun waktu yang berbatas [tidak kekal, tidak selamanya] terbagi menjadi enam alam, yaitu:
- Cãtummahãrãjika,
- Tãvatimsa,
- Yãma,
- Tusita,
- Nimmãnarati,
- Paranimmitavasavatti
Yang menyebabkan suatu makhluk / seseorang terlahir di alam dewa di keenam alam dewa lingkup-keindriaan / Kamadhatu ( Catummaharajika, Tavatimsa, Yama, Tusita, Nimmanarati, Paranimmitavatti ), maka ia harus berlatih dan menjalani hal berikut :
- Mempunyai “hiri”,yaitu : Rasa malu untuk berbuat jahat.
- Mempunyai “ottapa”,yaitu : Takut akan akibat perbuatan jahat.
Saat menjadi manusia, maka seseorang harus berlatih / mempraktekkan dhamma dengan baik, maka ia akan terlahir di alam-alam Dewa lingkup-keindrian, ditunjang dengan hiri dan ottapa. Disamping hal-hal itu, dengan berdoa kepada Dewa tertentu, dengan merenungkannya setiap saat, maka seseorang akan terlahir di alam surga tempat dewa tersebut berada. Inilah yang menyebabkan lahirnya agama-agama yang “menyandarkan” diri kepada suatu sosok Dewa atau Maha-Dewa sebagai “Penolong”, atau “Juru-Selamat”nya. Bukan hal yang salah, tetapi hanya tidak akan pernah bisa membebaskan makhluk yang bersandar tersebut dari “samsara”, paling tinggi hanya akan terlahir di alam tempat Dewa tersebut saat ini berada.
Sesungguhnya ada tiga macam deva atau dewa, yaitu :
- Upattideva: Dewa sebagai makhluk surgawi berdasarkan kelahirannya,
- Sammutideva: Dewa berdasarkan persepakatan atau perandaian misalnya raja, permaisuri, pangeran dan sebagainya,
- Visuddhideva: Dewa yang suci terbebas dari segala noda batin yang tidak lain ialah Arahanta.
Dewa yang dimaksud dalam pembahasan ini hanyalah merujuk pada pengertian yang pertama, Upattideva, yakni makhluk surgawi yang mengenyam kenikmatan inderawi. Makhluk surgawi pada hakekatnya adalah TIDAK-KEKAL ( Anicca ), sama dengan makhluk-makhluk lainnya di ke-31 alam kehidupan ini ( kecuali dialam Brahma ke-12, Suddhavasa, alam tempat tinggal para Anagami. Karena dialam ini para Anagami akan menyempurnakan dirinya untuk merealisasi Ke-Buddha-an / Ke-Arahat-an ).
Mereka bisa mati karena salah satu dari empat sebab:
- Habisnya usia,
- Habisnya kebajikan,
- Terlena dalam kenikmatan hingga lupa makan,
- Murka, cemburu / irihati.