Inilah Juru Selamat Dalam Agama Buddha
Keselamatan dan Kebebasan dalam Buddha Dhamma bukanlah hal sederhana sebagai pencapaian kehidupan di alam surga semata. Keselamatan dalam Buddha Dhamma merupakan terbebasnya suatu makhluk dari putaran arus kelahiran dan kematian (saṁsara), yang penuh dukkha, kepiluan, kesedihan dan ratap-tangis. Keselamatan sedemikian ini hanya akan dicapai saat suatu makhluk, dalam hal ini seseorang manusia, merealisasi Nibbāna. Pencapaian Nibbāna memang tujuan yang paling jauh untuk mencapai keselamatan, tetapi kita juga harus bisa terhindar dari kelahiran ulang di alam menderita, ini merupakan tujuan untuk memperoleh keselamatan yang lebih dekat dari Nibbāna.
Lebih lanjut bahwa dalam Buddha-Dhamma, tidak diajarkan adanya sosok juru-selamat yang hanya dengan beriman kepadanya, mengakui keberadaannya, meyakininya maka dosa-dosa kita, umat manusia, akan sepenuhnya terhapuskan, dan kita terjamin dalam kehidupan yang kekal-abadi karenanya.
Mencari keselamatan dalam Agama Buddha bukan dengan memajang ornamen Buddhis di berbagai sisi rumah, membuat tato di badan berupa simbol-simbol buddhis agar terhindar dari mara bahaya, atau pergi ke tempat-tempat keramat, dan membawa jimat. Bukan, bukan seperti itu. Perilaku seperti itu justru menunjukkan seorang umat Buddha masih kental dengan pandangan salah (micchā-diṭṭhi), tidak meyakini terhadap kebenaran hukum kamma.
Idealnya, seorang umat Buddha menjadikan Agama Buddha sebagai identitas diri, bukan hanya sebagai formalitas pengisi kolom agama di KTP, atau sekadar sebagai syarat untuk melakukan pernikahan. Perilaku Umat Buddha melalui ucapan dan badan jasmaninya secara tidak langsung dijadikan cerminan terhadap kualitas Agama Buddha. Uraian Buddha tentang seorang yang berada di jalan Dhamma sebagai berikut:
‘Bukan karena banyak bicara, seseorang disebut sebagai orang yang pandai dalam Dhamma, tetapi meskipun baru mengerti sedikit dan melaksanakan dengan tekun, maka ia pantas disebut sebagai orang yang menegakkan Dhamma.’
‘Meskipun mengucapkan kata-kata yang merdu, berpenampilan menarik, namun penuh dengan keserakahan, iri hati dan kebohongan, maka ia tidak pantas disebut sebagai orang baik dan bijaksana.’
Para Buddha hanya mengajarkan, membimbing dan menunjukkan Sang Jalan (Dhamma), namun, kita sendirilah yang harus berusaha, menempuh jalan yang telah ditunjukkan. Seseorang yang melangkah di jalan Dhamma akan terbebas dari belenggu mara. Ketika kita mempraktikkan Dhamma dalam kehidupan sehari-hari sekalipun masih belum bisa menembus Dhamma (mencapai pembebasan) dalam kehidupan ini juga, setidaknya sebagai ganjaran lainnya adalah kita akan terlahir di alam-alam bahagia, terhindar dari alam-alam menderita.
Dengan demikian, siapakah yang menjadikan hidup kita selamat? Siapakah yang menjadi pelindung diri kita? Siapakah yang menjerumuskan kehidupan kita ke dalam penderitaan yang terus menerus? Tentu saja, yang bertanggung jawab atas itu semua adalah diri kita sendiri. Keselamatan dan kesucian tidak didapatkan dari suatu kekuatan eksternal, makhluk adi duniawi, atau suatu hal di luar diri kita sendiri.
“Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan. Oleh diri sendiri pula seseorang menjadi suci. Suci atau tidak suci tergantung pada diri sendiri. Tak seorang pun yang dapat mensucikan orang lain.“
Orang-orang dungu tidak memiliki kebijaksanaan bersikap bagaikan musuh terhadap diri mereka sendiri. Mereka selalu melakukan perbuatan jahat yang menghasilkan buah yang pahit. Perbuatan itu dilakukan dengan tidak baik, setelah dilakukan, kemudian disesali, akibat yang akan dialami menangis dengan wajah basah oleh air mata, selain kepahitan hidup yang dirasakan. Tetapi perbuatan baik yang dilakukan dengan baik, setelah dilakukan, tidak disesali, akibat yang akan dialami adalah penuh kegembiraan dengan pikiran bahagia.
Kita harus mempunyai pengertian yang jelas dan benar mengenai keselamatan, yaitu keselamatan kita adalah keselamatan yang sifatnya aktif. Aktif di sini berarti dituntut untuk mengerti apa yang harus dilakukan agar menuju ke keselamatan itu. Perilaku yang sesuai dengan Dhamma, ucapan yang terkendali dan batin yang tenang akan menjadikan tabungan, bala tentara, pelindung yang ampuh dimanapun kita pergi. Menjadikan diri kita selamat di dunia ini maupun kehidupan setelah kematian.
Sekian.
Keselamatan dan Kebebasan dalam Buddha Dhamma bukanlah hal sederhana sebagai pencapaian kehidupan di alam surga semata. Keselamatan dalam Buddha Dhamma merupakan terbebasnya suatu makhluk dari putaran arus kelahiran dan kematian (saṁsara), yang penuh dukkha, kepiluan, kesedihan dan ratap-tangis. Keselamatan sedemikian ini hanya akan dicapai saat suatu makhluk, dalam hal ini seseorang manusia, merealisasi Nibbāna. Pencapaian Nibbāna memang tujuan yang paling jauh untuk mencapai keselamatan, tetapi kita juga harus bisa terhindar dari kelahiran ulang di alam menderita, ini merupakan tujuan untuk memperoleh keselamatan yang lebih dekat dari Nibbāna.
Lebih lanjut bahwa dalam Buddha-Dhamma, tidak diajarkan adanya sosok juru-selamat yang hanya dengan beriman kepadanya, mengakui keberadaannya, meyakininya maka dosa-dosa kita, umat manusia, akan sepenuhnya terhapuskan, dan kita terjamin dalam kehidupan yang kekal-abadi karenanya.
Mencari keselamatan dalam Agama Buddha bukan dengan memajang ornamen Buddhis di berbagai sisi rumah, membuat tato di badan berupa simbol-simbol buddhis agar terhindar dari mara bahaya, atau pergi ke tempat-tempat keramat, dan membawa jimat. Bukan, bukan seperti itu. Perilaku seperti itu justru menunjukkan seorang umat Buddha masih kental dengan pandangan salah (micchā-diṭṭhi), tidak meyakini terhadap kebenaran hukum kamma.
Idealnya, seorang umat Buddha menjadikan Agama Buddha sebagai identitas diri, bukan hanya sebagai formalitas pengisi kolom agama di KTP, atau sekadar sebagai syarat untuk melakukan pernikahan. Perilaku Umat Buddha melalui ucapan dan badan jasmaninya secara tidak langsung dijadikan cerminan terhadap kualitas Agama Buddha. Uraian Buddha tentang seorang yang berada di jalan Dhamma sebagai berikut:
‘Bukan karena banyak bicara, seseorang disebut sebagai orang yang pandai dalam Dhamma, tetapi meskipun baru mengerti sedikit dan melaksanakan dengan tekun, maka ia pantas disebut sebagai orang yang menegakkan Dhamma.’
‘Meskipun mengucapkan kata-kata yang merdu, berpenampilan menarik, namun penuh dengan keserakahan, iri hati dan kebohongan, maka ia tidak pantas disebut sebagai orang baik dan bijaksana.’
Para Buddha hanya mengajarkan, membimbing dan menunjukkan Sang Jalan (Dhamma), namun, kita sendirilah yang harus berusaha, menempuh jalan yang telah ditunjukkan. Seseorang yang melangkah di jalan Dhamma akan terbebas dari belenggu mara. Ketika kita mempraktikkan Dhamma dalam kehidupan sehari-hari sekalipun masih belum bisa menembus Dhamma (mencapai pembebasan) dalam kehidupan ini juga, setidaknya sebagai ganjaran lainnya adalah kita akan terlahir di alam-alam bahagia, terhindar dari alam-alam menderita.
Dengan demikian, siapakah yang menjadikan hidup kita selamat? Siapakah yang menjadi pelindung diri kita? Siapakah yang menjerumuskan kehidupan kita ke dalam penderitaan yang terus menerus? Tentu saja, yang bertanggung jawab atas itu semua adalah diri kita sendiri. Keselamatan dan kesucian tidak didapatkan dari suatu kekuatan eksternal, makhluk adi duniawi, atau suatu hal di luar diri kita sendiri.
“Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan. Oleh diri sendiri pula seseorang menjadi suci. Suci atau tidak suci tergantung pada diri sendiri. Tak seorang pun yang dapat mensucikan orang lain.“
Orang-orang dungu tidak memiliki kebijaksanaan bersikap bagaikan musuh terhadap diri mereka sendiri. Mereka selalu melakukan perbuatan jahat yang menghasilkan buah yang pahit. Perbuatan itu dilakukan dengan tidak baik, setelah dilakukan, kemudian disesali, akibat yang akan dialami menangis dengan wajah basah oleh air mata, selain kepahitan hidup yang dirasakan. Tetapi perbuatan baik yang dilakukan dengan baik, setelah dilakukan, tidak disesali, akibat yang akan dialami adalah penuh kegembiraan dengan pikiran bahagia.
Kita harus mempunyai pengertian yang jelas dan benar mengenai keselamatan, yaitu keselamatan kita adalah keselamatan yang sifatnya aktif. Aktif di sini berarti dituntut untuk mengerti apa yang harus dilakukan agar menuju ke keselamatan itu. Perilaku yang sesuai dengan Dhamma, ucapan yang terkendali dan batin yang tenang akan menjadikan tabungan, bala tentara, pelindung yang ampuh dimanapun kita pergi. Menjadikan diri kita selamat di dunia ini maupun kehidupan setelah kematian.
Sekian.