Pandangan-Pandangan Keliru Mengenai Hukum Karma
1. Kamma hanya dianggap sebagai hal yang buruk saja
Pandangan ini beranggapan bahwa karma sebagai sesuatu yang buruk yang menimpa seseorang yang telah melakukan perbuatan buruk. Kamma yang berarti perbuatan sedangkan hasilnya disebut vipaka, tidak hanya berhubungan dengan perbuatan buruk atau pun akibat buruk semata, tetapi juga perbuatan baik atau pun akibat yang baik. Contoh: seseorang gemar berdana sehingga ia dihormati oleh setiap orang. Gemar berdana adalah kamma baik dan dihormati orang lain merupakan hasil perbuatan yang baik.
2. hasil karma dianggap sebagai nasib atau takdir yang tidak bisa diubah
Pandangan ini dikatakan keliru karena jika hal itu terjadi maka seseorang tidak akan dapat bebas dari penderitaannya. Padahal seseorang dapat mengubah apa yang sedang ia alami. Selain itu, Sri Buddha telah mengajarkan mengenai Viriya atau semangat membaja yang berguna untuk mengatasi segala kesulitan. Sebagai contoh, seseorang yang lahir dalam keluarga yang kekurangan (miskin) karena kamma kehidupan lampau yang buruk yang telah ia lakukan dikehidupan yang lalu, ia dapat mengubah kondisi yang dialaminya tersebut dengan bekerja keras sehingga ia tidak lagi hidup dalam kemiskinan.
3. Prinsip kerja hukum kamma adalah mata dibayar mata, nyawa dibayar nyawa
Pandangan ini beranggapan bahwa kamma akan selalu dan pasti menghasilkan bentuk yang sama dengan hasil perbuatan, seperti membunuh maka akan dibunuh, mencuri maka akan dicuri, menipu maka akan ditipu, dan sebagainya. Pandangan ini keliru karena kamma memiliki karakter yang dinamis dan tidak lepas dari kondisi-kondisi yang ada (termasuk perkambangan kondisi batin), sehingga tidak selamanya bentuk dari hasil kamma akan sama dengan bentuk kamma yang diperbuat. Tetapi yang dapat dipastikan adalah sifatnya, dimana kamma yang sifat buruk pasti akan menghasilkan hal yang sifatnya juga buruk, kamma baik pasti akan menghasilkan hal yang sifatnya juga baik.
Sang Buddha menyampaikan bahwa dua orang yang melakukan perbuatan buruk kecil yang sama tetapi keduanya tidak mendapatkan hasil kamma yang sama, karena keduanya memiliki pengembangan kondisi batin yang berbeda.
Ia yang tidak mengembangkan batin ke arah yang baik maka akan terlahir di neraka untuk menerima akibat perbuatan buruk kecilnya itu, tetapi ia yang mengembangkan batin ke arah yang baik akan tetap menerima akibat perbuatan buruk kecilnya itu tetapi di kehidupannya sekarang dengan akibat yang terasa lebih ringan bahkan tidak terasa.
4. Karma orang tua diwarisi oleh anaknya
Pandangan ini beranggapan bahwa orang tua yang melakukan kamma buruk maka hasilnya akan di terima oleh anaknya atau keluarga lainnya. Pandangan ini keliru karena prinsip kerja kamma adalah siapa yang melakukan perbuatan maka ia akan yang menerima hasilnya. “Aku adalah pemilik kammaku, pewaris kammaku; terlahir dari kammaku, berhubungan dengan kammaku, terlindung oleh kammaku; apa pun kamma yang telah aku lakukan, baik atau buruk, itulah yang kuwarisi.”
Dalam kasus tertentu terlihat sepertinya orang tua yang melakukan kamma buruk dan anaknya yang mengalami penderitaan. Hal ini bukan berarti kamma buruk orang tua diwarisi oleh anaknya, tetapi ini lebih berarti bahwa kamma buruk orang tua tersebut memicu dan membuat kondisi sehingga kamma buruk si anak untuk berbuah. Dengan kata lain seseorang akan menerima akibat dari kammanya sendiri, tetapi kammanya dapat mempengaruhi atau mengondisikan kamma orang lain untuk berbuah.
5. Kamma kehidupan lampau penentu segalanya yang terjadi di masa sekarang
Pandangan determinisme ini beranggapan bahwa semua yang dialami seseorang pada masa sekarang, baik kondisi yang baik maupun buruk tidak lain merupakan hasil dari kamma kehidupan lampau saja. Pandangan ini keliru karena jika hal itu terjadi demikian maka seseorang hanya akan menjadi ”boneka” yang tidak bisa membebaskan diri dari penderitaan dan akan manjadi seseorang yang tidak memiliki kewaspadaan dan pengendalian diri. Hal ini telah dibabarkan oleh Sang Buddha dalam Titthāyatanādi Sutta maupun dalam Sivaka Sutta dan Devadaha Sutta.
6. Kamma maupun hasil kamma ditentukan oleh tuhan
Pandangan ini beranggapan bahwa semua yang diperbuat dan dialami seseorang pada masa sekarang, baik hal yang baik maupun buruk tidak lain merupakan kehendak tuhan. Pandangan ini keliru karena jika hal itu terjadi maka semua perbuatan dan semua yang dialami seseorang tidak lain hanya merupakan kehendak tuhan, sehingga seseorang tidak memiliki kehendak bebas, hanya akan menjadi ”boneka” yang tidak bisa membebaskan diri dari penderitaan dan akan menjadi seseorang yang tidak memiliki kewaspadaan dan pengendalian diri. Hal ini juga telah dibabarkan oleh Sang Buddha dalam Titthāyatanādi Sutta.
7. Kamma lampau dapat dihilangkan/dihapuskan
Pandangan ini beranggapan bahwa hasil kamma buruk yang telah dilakukan seseorang, dapat dihilangkan atau dihapuskan. Pandangan ini keliru karena hasil kamma lampau tersebut telah dilakukan dan telah terjadi sehingga tidak dapat dihapuskan. Sebagai contoh, Sang Buddha sendiri tetap menerima hasil dari kamma buruk kehidupan lampau-Nya berupa terlukanya kaki Beliau karena batu yang digulingkan oleh Devadatta. Jika hasil kamma kehidupan lampau bisa dihapuskan maka Sang Buddha dengan mudah menghilangkannya dan kaki Beliau tidak akan terluka.
Kamma masa lampau tetap akan menimbulkan hasilnya seperti yang telah dijelaskan oleh Sang Buddha dalam Loṇakapalla Sutta dengan menggunakan perumpamaan garam yang sama banyaknya, yang satu dimasukkan ke dalam semangkuk kecil air dan dan yang lain ke dalam Sungai Ganga. Garam diibaratkan sebagai kamma buruk dan air adalah kamma baik. Ketika garam dimasukan ke dalam semangkuk kecil air maka rasa garam tersebut akan terasa. Sedangkan garam yang jumlahnya sama dimasukan ke dalam sungai, maka air sungai tersebut tidak akan terasa asin. Jadi kamma buruk kehidupan lampau akan memberikan hasil/dampak tetapi dengan adanya kamma baik yang banyak yang dilakukan pada masa sekarang maka dampak dari kamma buruk tersebut menjadi berkurang bahkan tidak terasa.
8. Hukum Kamma satu-satunya hukum yang mengatur kehidupan manusia
Salah satu pandangan keliru mengenai Hukum Kamma adalah menganggap Hukum Kamma merupakan satu-satunya hukum yang mengatur kehidupan manusia dan menganggap hasilnya sebagai nasib atau takdir yang tidak bisa diubah sehingga seseorang hanya bisa pasrah menerima hasil dari kamma. Tetapi kenyataannya tidak demikian.
Dalam Abhidhammāvatāra dan Sumaṅgala-Vilāsinī dijelaskan bahwa Hukum Kamma sendiri hanya merupakan satu dari dua puluh empat sebab atau salah satu dari Pañca Niyāma (Lima Hukum Alam) yang bekerja di alam semesta ini, dan masing-masing merupakan hukum sendiri.
Sekian.
1. Kamma hanya dianggap sebagai hal yang buruk saja
Pandangan ini beranggapan bahwa karma sebagai sesuatu yang buruk yang menimpa seseorang yang telah melakukan perbuatan buruk. Kamma yang berarti perbuatan sedangkan hasilnya disebut vipaka, tidak hanya berhubungan dengan perbuatan buruk atau pun akibat buruk semata, tetapi juga perbuatan baik atau pun akibat yang baik. Contoh: seseorang gemar berdana sehingga ia dihormati oleh setiap orang. Gemar berdana adalah kamma baik dan dihormati orang lain merupakan hasil perbuatan yang baik.
2. hasil karma dianggap sebagai nasib atau takdir yang tidak bisa diubah
Pandangan ini dikatakan keliru karena jika hal itu terjadi maka seseorang tidak akan dapat bebas dari penderitaannya. Padahal seseorang dapat mengubah apa yang sedang ia alami. Selain itu, Sri Buddha telah mengajarkan mengenai Viriya atau semangat membaja yang berguna untuk mengatasi segala kesulitan. Sebagai contoh, seseorang yang lahir dalam keluarga yang kekurangan (miskin) karena kamma kehidupan lampau yang buruk yang telah ia lakukan dikehidupan yang lalu, ia dapat mengubah kondisi yang dialaminya tersebut dengan bekerja keras sehingga ia tidak lagi hidup dalam kemiskinan.
3. Prinsip kerja hukum kamma adalah mata dibayar mata, nyawa dibayar nyawa
Pandangan ini beranggapan bahwa kamma akan selalu dan pasti menghasilkan bentuk yang sama dengan hasil perbuatan, seperti membunuh maka akan dibunuh, mencuri maka akan dicuri, menipu maka akan ditipu, dan sebagainya. Pandangan ini keliru karena kamma memiliki karakter yang dinamis dan tidak lepas dari kondisi-kondisi yang ada (termasuk perkambangan kondisi batin), sehingga tidak selamanya bentuk dari hasil kamma akan sama dengan bentuk kamma yang diperbuat. Tetapi yang dapat dipastikan adalah sifatnya, dimana kamma yang sifat buruk pasti akan menghasilkan hal yang sifatnya juga buruk, kamma baik pasti akan menghasilkan hal yang sifatnya juga baik.
Sang Buddha menyampaikan bahwa dua orang yang melakukan perbuatan buruk kecil yang sama tetapi keduanya tidak mendapatkan hasil kamma yang sama, karena keduanya memiliki pengembangan kondisi batin yang berbeda.
Ia yang tidak mengembangkan batin ke arah yang baik maka akan terlahir di neraka untuk menerima akibat perbuatan buruk kecilnya itu, tetapi ia yang mengembangkan batin ke arah yang baik akan tetap menerima akibat perbuatan buruk kecilnya itu tetapi di kehidupannya sekarang dengan akibat yang terasa lebih ringan bahkan tidak terasa.
4. Karma orang tua diwarisi oleh anaknya
Pandangan ini beranggapan bahwa orang tua yang melakukan kamma buruk maka hasilnya akan di terima oleh anaknya atau keluarga lainnya. Pandangan ini keliru karena prinsip kerja kamma adalah siapa yang melakukan perbuatan maka ia akan yang menerima hasilnya. “Aku adalah pemilik kammaku, pewaris kammaku; terlahir dari kammaku, berhubungan dengan kammaku, terlindung oleh kammaku; apa pun kamma yang telah aku lakukan, baik atau buruk, itulah yang kuwarisi.”
Dalam kasus tertentu terlihat sepertinya orang tua yang melakukan kamma buruk dan anaknya yang mengalami penderitaan. Hal ini bukan berarti kamma buruk orang tua diwarisi oleh anaknya, tetapi ini lebih berarti bahwa kamma buruk orang tua tersebut memicu dan membuat kondisi sehingga kamma buruk si anak untuk berbuah. Dengan kata lain seseorang akan menerima akibat dari kammanya sendiri, tetapi kammanya dapat mempengaruhi atau mengondisikan kamma orang lain untuk berbuah.
5. Kamma kehidupan lampau penentu segalanya yang terjadi di masa sekarang
Pandangan determinisme ini beranggapan bahwa semua yang dialami seseorang pada masa sekarang, baik kondisi yang baik maupun buruk tidak lain merupakan hasil dari kamma kehidupan lampau saja. Pandangan ini keliru karena jika hal itu terjadi demikian maka seseorang hanya akan menjadi ”boneka” yang tidak bisa membebaskan diri dari penderitaan dan akan manjadi seseorang yang tidak memiliki kewaspadaan dan pengendalian diri. Hal ini telah dibabarkan oleh Sang Buddha dalam Titthāyatanādi Sutta maupun dalam Sivaka Sutta dan Devadaha Sutta.
6. Kamma maupun hasil kamma ditentukan oleh tuhan
Pandangan ini beranggapan bahwa semua yang diperbuat dan dialami seseorang pada masa sekarang, baik hal yang baik maupun buruk tidak lain merupakan kehendak tuhan. Pandangan ini keliru karena jika hal itu terjadi maka semua perbuatan dan semua yang dialami seseorang tidak lain hanya merupakan kehendak tuhan, sehingga seseorang tidak memiliki kehendak bebas, hanya akan menjadi ”boneka” yang tidak bisa membebaskan diri dari penderitaan dan akan menjadi seseorang yang tidak memiliki kewaspadaan dan pengendalian diri. Hal ini juga telah dibabarkan oleh Sang Buddha dalam Titthāyatanādi Sutta.
7. Kamma lampau dapat dihilangkan/dihapuskan
Pandangan ini beranggapan bahwa hasil kamma buruk yang telah dilakukan seseorang, dapat dihilangkan atau dihapuskan. Pandangan ini keliru karena hasil kamma lampau tersebut telah dilakukan dan telah terjadi sehingga tidak dapat dihapuskan. Sebagai contoh, Sang Buddha sendiri tetap menerima hasil dari kamma buruk kehidupan lampau-Nya berupa terlukanya kaki Beliau karena batu yang digulingkan oleh Devadatta. Jika hasil kamma kehidupan lampau bisa dihapuskan maka Sang Buddha dengan mudah menghilangkannya dan kaki Beliau tidak akan terluka.
Kamma masa lampau tetap akan menimbulkan hasilnya seperti yang telah dijelaskan oleh Sang Buddha dalam Loṇakapalla Sutta dengan menggunakan perumpamaan garam yang sama banyaknya, yang satu dimasukkan ke dalam semangkuk kecil air dan dan yang lain ke dalam Sungai Ganga. Garam diibaratkan sebagai kamma buruk dan air adalah kamma baik. Ketika garam dimasukan ke dalam semangkuk kecil air maka rasa garam tersebut akan terasa. Sedangkan garam yang jumlahnya sama dimasukan ke dalam sungai, maka air sungai tersebut tidak akan terasa asin. Jadi kamma buruk kehidupan lampau akan memberikan hasil/dampak tetapi dengan adanya kamma baik yang banyak yang dilakukan pada masa sekarang maka dampak dari kamma buruk tersebut menjadi berkurang bahkan tidak terasa.
8. Hukum Kamma satu-satunya hukum yang mengatur kehidupan manusia
Salah satu pandangan keliru mengenai Hukum Kamma adalah menganggap Hukum Kamma merupakan satu-satunya hukum yang mengatur kehidupan manusia dan menganggap hasilnya sebagai nasib atau takdir yang tidak bisa diubah sehingga seseorang hanya bisa pasrah menerima hasil dari kamma. Tetapi kenyataannya tidak demikian.
Dalam Abhidhammāvatāra dan Sumaṅgala-Vilāsinī dijelaskan bahwa Hukum Kamma sendiri hanya merupakan satu dari dua puluh empat sebab atau salah satu dari Pañca Niyāma (Lima Hukum Alam) yang bekerja di alam semesta ini, dan masing-masing merupakan hukum sendiri.
Sekian.