Di Indonesia jumlah bhikkhu tidak terlalu banyak. Oleh karena itu, setiap bhikkhu mendapatkan perhatian yang lebih banyak dari umat maupun simpatisan Buddhis dibandingkan dengan para bhikkhu yang tinggal di negara Buddhis. Perhatian yang sedemikian besar itulah yang menyebabkan harapan umat Buddha juga terlalu tinggi terhadap para bhikkhu. Akibatnya, ketika ada bhikkhu lepas jubah dan kembali menjadi umat biasa, banyak umat Buddha yang sangat kecewa. Sebagian dari umat yang kecewa ini kadang kurang mampu mengendalikan pikiran, ucapan dan perbuatannya. Mereka mempergunjingkan mantan bhikkhu tersebut di setiap kesempatan dengan kata-kata yang kasar atau bahkan menghina. Padahal, seharusnya semua umat Buddha menyadari bahwa bhikkhu lepas jubah karena berbagai alasan pribadi adalah hal yang biasa. Wajar dan sesuai dengan hukum alam yaitu tidak kekal. Istilah bhikkhu lepas jubah ini kalau dalam bahasa masyarakat umum sering disebut denga 'alih professi'. Sama dengan orang yang semula pedagang kemudian menutup usahanya dan kerja mengikuti perusahaan tertentu, atau sebaliknya. Tidak ada yang perlu dipergunjingkan tentang alih professi ini. Biasa-biasa saja. Namun, karena bhikkhu termasuk 'langka', maka tentu masalah lepas jubah menjadi sangat menarik untuk dibicarakan di berbagai tempat pertemuan. Hanya saja, untuk para umat yang sudah sadar dan mengerti tentang konsep ketidakkekalan serta prinsip 'alih professi' ini kiranya tidak perlu menanggapi pergunjingan tersebut. Ia hendaknya bersikap netral saja.
Adapun terhadap mantan bhikkhu, umat hendaknya tetap menganggap dia sebagai sesama umat, bukan sampah masyarakat yang harus dijauhi ataupun dimusuhi. Di beberapa tempat, mantan bhikkhu malah sering dianggap sebagai pandita atau orang yang lebih mengerti tentang Agama Buddha. Dengan demikian, ia hendaknya diberi kesempatan untuk membagikan pengertian Dhamma atau ceramah Dhamma kepada umat Buddha di vihara terdekat. Dengan memberikan kesempatan kepadanya, dengan menerima dia sebagaimana adanya, maka ia tentu tidak merasa canggung untuk sering datang ke vihara. Ia mungkin dapat membaktikan kemampuannya dengan cara yang berbeda demi kebahagiaan umat serta simpatisan Buddhis di lingkunganya. Sebaliknya, kalau ia dipandang rendah dan sinis oleh umat Buddha di vihara tertentu, maka ia tentu akan enggan untuk hadir di tempat tersebut. Kondisi ini jelas kurang menguntungkan untuk umat dan simpatisan Buddhis di sekitar ia tinggal maupun Agama Buddha secara keseluruhan.
Sumber : Tanya Jawab Bhikkhu Uttamo.Pdf
Adapun terhadap mantan bhikkhu, umat hendaknya tetap menganggap dia sebagai sesama umat, bukan sampah masyarakat yang harus dijauhi ataupun dimusuhi. Di beberapa tempat, mantan bhikkhu malah sering dianggap sebagai pandita atau orang yang lebih mengerti tentang Agama Buddha. Dengan demikian, ia hendaknya diberi kesempatan untuk membagikan pengertian Dhamma atau ceramah Dhamma kepada umat Buddha di vihara terdekat. Dengan memberikan kesempatan kepadanya, dengan menerima dia sebagaimana adanya, maka ia tentu tidak merasa canggung untuk sering datang ke vihara. Ia mungkin dapat membaktikan kemampuannya dengan cara yang berbeda demi kebahagiaan umat serta simpatisan Buddhis di lingkunganya. Sebaliknya, kalau ia dipandang rendah dan sinis oleh umat Buddha di vihara tertentu, maka ia tentu akan enggan untuk hadir di tempat tersebut. Kondisi ini jelas kurang menguntungkan untuk umat dan simpatisan Buddhis di sekitar ia tinggal maupun Agama Buddha secara keseluruhan.
Sumber : Tanya Jawab Bhikkhu Uttamo.Pdf